Kalau sedang bertugas ke daerah-daerah di Indonesia, teman-teman saya
selalu mengagendakan aktivitas makan makanan khas daerah setempat. Bagi
saya pribadi, hal ini masih tergantung pada ketersediaan waktu dan juga
uang di kantong. Jika keduanya bersatu padu, maka mencicipi masakan khas
setempat merupakan satu hal yang sangat berharga bagi saya.
Sebagai orang Bengkulu, saya harus mengakui kalau selama ini saya tak begitu hirau dengan nama-nama masakan dari dapur orang Bengkulu. Saya hanya mengingat bahannya serta rasanya. Sejak kecil, ibunda di rumah sangat memanjakan saya dan saudara-saudara dengan segala masakan khas orang kito di Bengkulu ini. Yang jelas, dari sekian masakan itu, ikan merupakan masakan paling saya sukai. Sampai-sampai dulu ayahanda berkelakar saat saya akan merantau ke Yogyakarta, "Nanti kalu ngah lah de agi di 'umah, siape nihan yang makan palak ikan ni.... " (Nanti kalau ngah sudah tidak ada di rumah, siapa lagi yang akan menyantap kepala ikan ini). Ngah adalah panggilan adik-adik untuk kakak nomor 2 bagi orang-orang Bengkulu suku Kaur). Yup, kepala ikan merupakan bagian dari ikan yang sangat saya sukai. Itu sebabnya, meski jauh dari Bengkulu, saya masih terus menikmati kepala ikan kakap, ikan patin, dan ikan-ikan lainnya. Dan betapa bersyukurnya saya ketika tahun lalu berada di Balikpapan dan Banjarmasin saya dapat menikmati kepala ikan patin dan ikan ghuan (gabus). Rasanya sunggu enak, berbeda dengan makan ikan cakalang atau ekor kuning kalau sedang berada di Maluku.
Berada di Bengkulu untuk tugas kantor bersama teman-teman dari Jakarta awal Oktober lalu semakin menyenangkan karena saya dapat menikmati masakan khas Bengkulu langsung di tanah kelahiran saya ini. Ayuk Susi, teman dari LSM Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (PUPA), mengajak teman-teman dari Jakarta untuk merasakan masakan khas orang sini. Petang hari di tanggal 2 Oktober, kami pergi makan di rumah makan Marola yang letaknya di pantai panjang. Letaknya tak jauh dari hotel Grage Horizon tempat kami menginap. Saya pun sesungguhnya belum pernah menikmati masakan-masakan Bengkulu di rumah makan yang menyediakan masakan khas Bengkulu sendiri. Sebagai orang Bengkulu, inilah saat pertama kali saya menikmati masakan Bengkulu di rumah makan khas Bengkulu dan di Bengkulu pula.
Sepanjang perjalanan dari Padang Harapan tempat kami berkegiatan, ayuk Susi bercerita banyak pada teman-teman dari Jakarta tentang masakan Bengkulu. Bahkan soal petai dan jering (jengkol) yang tersedia di rumah makan Marola menjadi rayuan ayuk Susi supaya kami makan di sini. Meski saya yakin teman-teman saya tidak tergiur dengan lalapan itu karena kami semua memang doyan memakannya, namun kami tetap mendapati makanan nikmat nan mengenyangkan setelah berada di sini. :)
Saya teringat guru pelajaran Antropologi saya di SMAN 4 (sekarang SMUN 5) kota Bengkulu. Ia bercerita keunikan orang Bengkulu dalam pengamatannya soal makan. Pertama, orang Bengkulu tidak pernah membedakan antara gulai dan sayur. Jika orang Jawa menyebut gulai untuk masakah olahan dari daging dan berkuah santan, maka orang Bengkulu menyebut semua makanan peneman nasi sebagai "gulai". Bahkan pucuk ubi alias daun singkong pun disebut gulai. Bagi saya, makan nasi dengan gulai (rebusan) pucuk ubi dan goreng ikan betok (ikan puyuh) bersambal atau sambal tempuyak udang merupakan kenikmatan yang membuat saya tak pernah lupa dengan tanah kelahiran.
Kedua, jika orang di daerah lain menikmati makanan berkuah menggunakan sendok, maka orang Bengkulu tetaplah menggunakan tangan untuk makan. Hal ini diakui oleh kakak ipar saya yang asli Sunda dari Sukabumi. Sekarang, teteh saya itu menjadi sangat terbiasa untuk makan dengan cara seperti ini sejak ia tinggal di Kaur sekitar 10 tahun terakhir.
Ketiga, pan basuh atau tempat cuci tangan, atau kobokan kalau kata orang Jawa, merupakan wadah mencuci tangah seukuran mangkok bakso. Pencuci tangan ini biasanya digunakan bersama-sama di meja tempat makan. Banyak tangan dibasuh di satu tempat pencucian. :D
Keempat, mungkin sama dengan kabanyakan orang di Sumatera, orang Bengkulu sangat susah kalau menikmati makanan tanpa ada rasa pedasnya. Kalau bukan masakannya diolah dengan banyak cabe, tentu sambal goreng merupakan satu menu yang harus hadir di meja makan.
Mungkin Anda akan mengingat banyak hal lagi yang unik di daerah ini berkaitan dengan makan. Silahkan kalau mau berbagi cerita di blog ini.
Di rumah makan Marola, kami menyantap ikan gebur yang dibakar, kepiting, cumi-cumi, serta gulai pucuk ubi dan (kalau tak salah) ada pucuk lumay. Ada pula sayur asam dan lalapan terong bulat ungu yang sebenarnya lalapan khas masyarakat Sunda. Kalu lepang (timun) tentulah orang sini juga menyantpanya. Tak ada jering dan juga petai. Tapi hidangan yang ada sudah cukup memuaskan dan mengenyangkan kampi petang itu.
Keesokan harinya, kami memiliki agenda untuk mewawancarai tokoh adat dan seorang dukun beranak di daerah Talo. Disini kami ditemani oleh Ayuk Iin yang bekerja di kantor pemerintah kabupaten yang dulunya merupakan bagian dari kabupaten Bengkulu Selatan. Kami mewawancarai Pak Ujang yang merupakan Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Seluma. sempai sekitar pukulu 14 siang. Perut keroncongan. Kami pun mulai berpikir untuk mencari warung makan. Ayuk Iin yang merupakan suku Lembak desa Tanjung Agung dan juga keturunan orang suku Serawai di Talo menawarkan kami untuk kembali menikmati masakan khas Bengkulu. Kali ini, gulai remis menjadi masakan yang dielu-elukan ayuk Iin. Remis sendiri belum pernah saya temukan di daerah lain di Indonesia. Ia semacam kerang yang hidup di muara sungai. Memasaknya dengan cara direbus seperti memasak sop. Saya kurang tahu persisnya bagaimana karena memang belum pernah belajar memasak remis dari ibunda di rumah. :)
Kami mampir di rumah makan Rosari yang terletak di Tais, ibukota kabupaten Seluma. Ternyata sudah banyak makanan yang habis. "Di sini banyak pegawai yang makan siang, jadi kita sudah dapat sisa-sisa mereka," kata ayuk Iin. Tetapi kami tetap masih dapat menikmati gulai rebung asam yang dicampur dengan ikan, umbut lipai, ikan mujair, kacang panjang dengan terong, dan kalau tak salah ingat juga ada daun paku. Gulai remis nyaris tak dapat kami nikmati karena warung ini baru memasak lagi setelah masakan sebelumnya habis dipesan oleh pengunjung sebelum kami. Kami sempat menunggu sejenak karena masakan disiapkan lagi dari dapur. Meski keroncongan, kami tetap sedia menunggu sampai hidangan yang kami pesan tersedia di meja.
Usai menyelesaikan tugas kantor, saya sempat pulang ke rumah orang tua saya di daerah Pagar Dewa selama dua malam. Teman-teman saya sudah kembali ke Jakarta. Di rumah, saya menikmati bagar hiu yang sengaja disedikan oleh ibunda untuk saya. Hari kedua di rumah saya pun menikmati pendap. Kedua masakan terkakhir tak kami temukan di rumah makan Marolah dan Rosari. Dan saya pun tak jadi membeli pendap di desa Tanjung Agung seperti disarankan ayuk Iin karena ternyata tetangga rumah orang tua saya ada yang bejulan pendap ini.
Sebagai orang Bengkulu, saya harus mengakui kalau selama ini saya tak begitu hirau dengan nama-nama masakan dari dapur orang Bengkulu. Saya hanya mengingat bahannya serta rasanya. Sejak kecil, ibunda di rumah sangat memanjakan saya dan saudara-saudara dengan segala masakan khas orang kito di Bengkulu ini. Yang jelas, dari sekian masakan itu, ikan merupakan masakan paling saya sukai. Sampai-sampai dulu ayahanda berkelakar saat saya akan merantau ke Yogyakarta, "Nanti kalu ngah lah de agi di 'umah, siape nihan yang makan palak ikan ni.... " (Nanti kalau ngah sudah tidak ada di rumah, siapa lagi yang akan menyantap kepala ikan ini). Ngah adalah panggilan adik-adik untuk kakak nomor 2 bagi orang-orang Bengkulu suku Kaur). Yup, kepala ikan merupakan bagian dari ikan yang sangat saya sukai. Itu sebabnya, meski jauh dari Bengkulu, saya masih terus menikmati kepala ikan kakap, ikan patin, dan ikan-ikan lainnya. Dan betapa bersyukurnya saya ketika tahun lalu berada di Balikpapan dan Banjarmasin saya dapat menikmati kepala ikan patin dan ikan ghuan (gabus). Rasanya sunggu enak, berbeda dengan makan ikan cakalang atau ekor kuning kalau sedang berada di Maluku.
Berada di Bengkulu untuk tugas kantor bersama teman-teman dari Jakarta awal Oktober lalu semakin menyenangkan karena saya dapat menikmati masakan khas Bengkulu langsung di tanah kelahiran saya ini. Ayuk Susi, teman dari LSM Pendidikan untuk Perempuan dan Anak (PUPA), mengajak teman-teman dari Jakarta untuk merasakan masakan khas orang sini. Petang hari di tanggal 2 Oktober, kami pergi makan di rumah makan Marola yang letaknya di pantai panjang. Letaknya tak jauh dari hotel Grage Horizon tempat kami menginap. Saya pun sesungguhnya belum pernah menikmati masakan-masakan Bengkulu di rumah makan yang menyediakan masakan khas Bengkulu sendiri. Sebagai orang Bengkulu, inilah saat pertama kali saya menikmati masakan Bengkulu di rumah makan khas Bengkulu dan di Bengkulu pula.
Sepanjang perjalanan dari Padang Harapan tempat kami berkegiatan, ayuk Susi bercerita banyak pada teman-teman dari Jakarta tentang masakan Bengkulu. Bahkan soal petai dan jering (jengkol) yang tersedia di rumah makan Marola menjadi rayuan ayuk Susi supaya kami makan di sini. Meski saya yakin teman-teman saya tidak tergiur dengan lalapan itu karena kami semua memang doyan memakannya, namun kami tetap mendapati makanan nikmat nan mengenyangkan setelah berada di sini. :)
Saya teringat guru pelajaran Antropologi saya di SMAN 4 (sekarang SMUN 5) kota Bengkulu. Ia bercerita keunikan orang Bengkulu dalam pengamatannya soal makan. Pertama, orang Bengkulu tidak pernah membedakan antara gulai dan sayur. Jika orang Jawa menyebut gulai untuk masakah olahan dari daging dan berkuah santan, maka orang Bengkulu menyebut semua makanan peneman nasi sebagai "gulai". Bahkan pucuk ubi alias daun singkong pun disebut gulai. Bagi saya, makan nasi dengan gulai (rebusan) pucuk ubi dan goreng ikan betok (ikan puyuh) bersambal atau sambal tempuyak udang merupakan kenikmatan yang membuat saya tak pernah lupa dengan tanah kelahiran.
Kedua, jika orang di daerah lain menikmati makanan berkuah menggunakan sendok, maka orang Bengkulu tetaplah menggunakan tangan untuk makan. Hal ini diakui oleh kakak ipar saya yang asli Sunda dari Sukabumi. Sekarang, teteh saya itu menjadi sangat terbiasa untuk makan dengan cara seperti ini sejak ia tinggal di Kaur sekitar 10 tahun terakhir.
Ketiga, pan basuh atau tempat cuci tangan, atau kobokan kalau kata orang Jawa, merupakan wadah mencuci tangah seukuran mangkok bakso. Pencuci tangan ini biasanya digunakan bersama-sama di meja tempat makan. Banyak tangan dibasuh di satu tempat pencucian. :D
Keempat, mungkin sama dengan kabanyakan orang di Sumatera, orang Bengkulu sangat susah kalau menikmati makanan tanpa ada rasa pedasnya. Kalau bukan masakannya diolah dengan banyak cabe, tentu sambal goreng merupakan satu menu yang harus hadir di meja makan.
Mungkin Anda akan mengingat banyak hal lagi yang unik di daerah ini berkaitan dengan makan. Silahkan kalau mau berbagi cerita di blog ini.
Di rumah makan Marola, kami menyantap ikan gebur yang dibakar, kepiting, cumi-cumi, serta gulai pucuk ubi dan (kalau tak salah) ada pucuk lumay. Ada pula sayur asam dan lalapan terong bulat ungu yang sebenarnya lalapan khas masyarakat Sunda. Kalu lepang (timun) tentulah orang sini juga menyantpanya. Tak ada jering dan juga petai. Tapi hidangan yang ada sudah cukup memuaskan dan mengenyangkan kampi petang itu.
Keesokan harinya, kami memiliki agenda untuk mewawancarai tokoh adat dan seorang dukun beranak di daerah Talo. Disini kami ditemani oleh Ayuk Iin yang bekerja di kantor pemerintah kabupaten yang dulunya merupakan bagian dari kabupaten Bengkulu Selatan. Kami mewawancarai Pak Ujang yang merupakan Ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Seluma. sempai sekitar pukulu 14 siang. Perut keroncongan. Kami pun mulai berpikir untuk mencari warung makan. Ayuk Iin yang merupakan suku Lembak desa Tanjung Agung dan juga keturunan orang suku Serawai di Talo menawarkan kami untuk kembali menikmati masakan khas Bengkulu. Kali ini, gulai remis menjadi masakan yang dielu-elukan ayuk Iin. Remis sendiri belum pernah saya temukan di daerah lain di Indonesia. Ia semacam kerang yang hidup di muara sungai. Memasaknya dengan cara direbus seperti memasak sop. Saya kurang tahu persisnya bagaimana karena memang belum pernah belajar memasak remis dari ibunda di rumah. :)
Kami mampir di rumah makan Rosari yang terletak di Tais, ibukota kabupaten Seluma. Ternyata sudah banyak makanan yang habis. "Di sini banyak pegawai yang makan siang, jadi kita sudah dapat sisa-sisa mereka," kata ayuk Iin. Tetapi kami tetap masih dapat menikmati gulai rebung asam yang dicampur dengan ikan, umbut lipai, ikan mujair, kacang panjang dengan terong, dan kalau tak salah ingat juga ada daun paku. Gulai remis nyaris tak dapat kami nikmati karena warung ini baru memasak lagi setelah masakan sebelumnya habis dipesan oleh pengunjung sebelum kami. Kami sempat menunggu sejenak karena masakan disiapkan lagi dari dapur. Meski keroncongan, kami tetap sedia menunggu sampai hidangan yang kami pesan tersedia di meja.
Usai menyelesaikan tugas kantor, saya sempat pulang ke rumah orang tua saya di daerah Pagar Dewa selama dua malam. Teman-teman saya sudah kembali ke Jakarta. Di rumah, saya menikmati bagar hiu yang sengaja disedikan oleh ibunda untuk saya. Hari kedua di rumah saya pun menikmati pendap. Kedua masakan terkakhir tak kami temukan di rumah makan Marolah dan Rosari. Dan saya pun tak jadi membeli pendap di desa Tanjung Agung seperti disarankan ayuk Iin karena ternyata tetangga rumah orang tua saya ada yang bejulan pendap ini.
memang beragam nian masakan dan makann kito di bengkulu ko, dari manis gemuknyo lempuk durian dari ulu talo sampai asam pedasnyo lemmah di air dingin.. ai jadila dulu, la ndak jatuh air liurko.. hehe
BalasHapusyo nian ,pokoknyo dmn pun,kto tinggal di bengkulu,disudut mano pun,dag akan kelaparan.ado2 ajo makanannyo yg jd cri khas,
BalasHapusterimakasih atas kunjungannyo.salam